Rabu, 04 Mei 2016

Haji Pengabdi Setan

Haji Pengabdi Setan

Oleh: Ali Mustafa Yaqub*
makkah 1
Add caption
IBADAH haji 1426 H, pekan lalu, usai sudah. Jamaah haji Indonesia mulai pulang ke Tanah Air. Bila mereka ditanya apakah Anda ingin kembali lagi ke Mekkah, hampir seluruhnya menjawab, ”Ingin.” Hanya segelintir yang menjawab, “Saya ingin beribadah haji sekali saja, seperti Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM.”
Jawaban itu menunjukkan antusiasme umat Islam Indonesia beribadah haji. Sekilas, itu juga menunjukkan nilai positif. Karena beribadah haji berkali-kali dianggap sebagai barometer ketakwaan dan ketebalan kantong. Tapi, dari kacamata agama, itu tidak selamanya positif.
Kendati ibadah haji telah ada sejak masa Nabi Ibrahim, bagi umat Islam, ia baru diwajibkan pada tahun 6 H. Walau begitu, Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM dan para sahabat belum dapat menjalankan ibadah haji karena saat itu Mekkah masih dikuasai kaum musyrik. Setelah Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM menguasai Mekkah (Fath Makkah) pada 12 Ramadan 8 H, sejak itu beliau berkesempatan beribadah haji.
Namun Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM tidak beribadah haji pada 8 H itu. Juga tidak pada 9 H. Pada 10 H, Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM baru menjalankan ibadah haji. Tiga bulan kemudian, Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM wafat. Karenanya, ibadah haji beliau disebut haji wada’ (haji perpisahan).
Itu artinya, Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM berkesempatan beribadah haji tiga kali, namun beliau menjalaninya hanya sekali. Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM juga berkesempatan umrah ribuan kali, namun beliau hanya melakukan umrah sunah tiga kali dan umrah wajib bersama haji sekali. Mengapa?
Sekiranya haji dan atau umrah berkali-kali itu baik, tentu Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM lebih dahulu mengerjakannya, karena salah satu peran Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM adalah memberi uswah (teladan) bagi umatnya. Selama tiga kali Ramadan, Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM juga tidak pernah mondar-mandir menggiring jamaah umrah dari Madinah ke Mekkah.
Dalam Islam, ada dua kategori ibadah: ibadah qashirah (ibadah individual) yang manfaatnya hanya dirasakan pelakunya dan ibadah muta’addiyah (ibadah sosial) yang manfaatnya dirasakan pelakunya dan orang lain. Ibadah haji dan umrah termasuk ibadah qashirah. Karenanya, ketika pada saat bersamaan terdapat ibadah qashirah dan muta’addiyah, Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM tidak mengerjakan ibadah qashirah, melainkan memilih ibadah muta’addiyah.
Menyantuni anak yatim, yang termasuk ibadah muta’addiyah, misalnya, oleh Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM, penyantunnya dijanjikan surga, malah kelak hidup berdampingan dengan beliau. Sementara untuk haji mabrur, Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM hanya menjanjikan surga, tanpa janji berdampingan bersama beliau. Ini bukti, ibadah sosial lebih utama ketimbang ibadah individual.
1996, Medina, Saudi Arabia --- Evening prayer at the Mosque of the Prophet. During the annual hajj nearly all the two million pilgrims visit Medina. --- Image by © Kazuyoshi Nomachi/Corbis
Add caption

Di Madinah, banyak ”mahasiswa” belajar pada Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM. Mereka tinggal di shuffah Masjid Nabawi. Jumlahnya ratusan. Mereka yang disebut ahl al-shuffah itu adalah mahasiswa Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM yang tidak memiliki apa-apa kecuali dirinya sendiri, seperti Abu Hurairah. Bersama para sahabat, Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM menanggung makan mereka. Ibadah muta’addiyah seperti ini yang diteladankan beliau, bukan pergi haji berkali-kali atau menggiring jamaah umrah tiap bulan. Karenanya, para ulama dari kalangan Tabiin seperti Muhammad bin Sirin, Ibrahim al-Nakha’i, dan Malik bin Anas berpendapat, beribadah umrah setahun dua kali hukumnya makruh (tidak disukai), karena Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM dan ulama salaf tidak pernah melakukannya.
Dalam hadis qudsi riwayat Imam Muslim ditegaskan, Allah dapat ditemui di sisi orang sakit, orang kelaparan, orang kehausan, dan orang menderita. Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM tidak menyatakan bahwa Allah dapat ditemui di sisi Ka’bah. Jadi, Allah berada di sisi orang lemah dan menderita. Allah dapat ditemui melalui ibadah sosial, bukan hanya ibadah individual. Kaidah fikih menyebutkan, al-muta’addiyah afdhol min al-qashirah (ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual).
Jumlah jamaah haji Indonesia yang tiap tahun di atas 200.000 sekilas menggembirakan. Namun, bila ditelaah lebih jauh, kenyataan itu justru memprihatinkan, karena sebagian dari jumlah itu sudah beribadah haji berkali-kali. Boleh jadi, kepergian mereka yang berkali-kali itu bukan lagi sunah, melainkan makruh, bahkan haram.
Ketika banyak anak yatim telantar, puluhan ribu orang menjadi tunawisma akibat bencana alam, banyak balita busung lapar, banyak rumah Allah roboh, banyak orang terkena pemutusan hubungan kerja, banyak orang makan nasi aking, dan banyak rumah yatim dan bangunan pesantren terbengkalai, lalu kita pergi haji kedua atau ketiga kalinya, maka kita patut bertanya pada diri sendiri, apakah haji kita itu karena melaksanakan perintah Allah?
old-kaaba-sharif
Add caption
Ayat mana yang menyuruh kita melaksanakan haji berkali-kali, sementara kewajiban agama masih segudang di depan kita? Apakah haji kita itu mengikuti Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM? Kapan Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM memberi teladan atau perintah seperti itu? Atau sejatinya kita mengikuti bisikan setan melalui hawa nafsu, agar di mata orang awam kita disebut orang luhur? Apabila motivasi ini yang mendorong kita, maka berarti kita beribadah haji bukan karena Allah, melainkan karena setan.
Sayangnya, masih banyak orang yang beranggapan, setan hanya menyuruh kita berbuat kejahatan atau setan tidak pernah menyuruh beribadah. Mereka tidak tahu bahwa sahabat Abu Hurairah pernah disuruh setan untuk membaca ayat kursi setiap malam. Ibadah yang dimotivasi rayuan setan bukan lagi ibadah, melainkan maksiat.
Jam terbang iblis dalam menggoda manusia sudah sangat lama. Ia tahu betul apa kesukaan manusia. Iblis tidak akan menyuruh orang yang suka beribadah untuk minum khamr. Tapi Iblis menyuruhnya, antara lain, beribadah haji berkali-kali. Ketika manusia beribadah haji karena mengikuti rayuan iblis melalui bisikan hawa nafsunya, maka saat itu tipologi haji pengabdi setan telah melekat padanya. Wa Allah a’lam.[ ]
*Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta

Sumber : DISINI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar