Haji Pengabdi Setan
Oleh: Ali Mustafa Yaqub*
| Add caption | 
IBADAH
 haji 1426 H, pekan lalu, usai sudah. Jamaah haji Indonesia mulai pulang
 ke Tanah Air. Bila mereka ditanya apakah Anda ingin kembali lagi ke 
Mekkah, hampir seluruhnya menjawab, ”Ingin.” Hanya segelintir yang 
menjawab, “Saya ingin beribadah haji sekali saja, seperti Nabi 
SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM.”
Jawaban
 itu menunjukkan antusiasme umat Islam Indonesia beribadah haji. 
Sekilas, itu juga menunjukkan nilai positif. Karena beribadah haji 
berkali-kali dianggap sebagai barometer ketakwaan dan ketebalan kantong.
 Tapi, dari kacamata agama, itu tidak selamanya positif.
Kendati
 ibadah haji telah ada sejak masa Nabi Ibrahim, bagi umat Islam, ia baru
 diwajibkan pada tahun 6 H. Walau begitu, Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI 
WASALLAM dan para sahabat belum dapat menjalankan ibadah haji karena 
saat itu Mekkah masih dikuasai kaum musyrik. Setelah Nabi SHALLALLAHU 
‘ALAYHI WASALLAM menguasai Mekkah (Fath Makkah) pada 12 Ramadan 8 H, 
sejak itu beliau berkesempatan beribadah haji.
Namun 
Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM tidak beribadah haji pada 8 H itu. 
Juga tidak pada 9 H. Pada 10 H, Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM baru 
menjalankan ibadah haji. Tiga bulan kemudian, Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI 
WASALLAM wafat. Karenanya, ibadah haji beliau disebut haji wada’ (haji 
perpisahan).
Itu 
artinya, Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM berkesempatan beribadah haji 
tiga kali, namun beliau menjalaninya hanya sekali. Nabi SHALLALLAHU 
‘ALAYHI WASALLAM juga berkesempatan umrah ribuan kali, namun beliau 
hanya melakukan umrah sunah tiga kali dan umrah wajib bersama haji 
sekali. Mengapa?
Sekiranya
 haji dan atau umrah berkali-kali itu baik, tentu Nabi SHALLALLAHU 
‘ALAYHI WASALLAM lebih dahulu mengerjakannya, karena salah satu peran 
Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM adalah memberi uswah (teladan) bagi 
umatnya. Selama tiga kali Ramadan, Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM 
juga tidak pernah mondar-mandir menggiring jamaah umrah dari Madinah ke 
Mekkah.
Dalam 
Islam, ada dua kategori ibadah: ibadah qashirah (ibadah individual) yang
 manfaatnya hanya dirasakan pelakunya dan ibadah muta’addiyah (ibadah 
sosial) yang manfaatnya dirasakan pelakunya dan orang lain. Ibadah haji 
dan umrah termasuk ibadah qashirah. Karenanya, ketika pada saat 
bersamaan terdapat ibadah qashirah dan muta’addiyah, Nabi SHALLALLAHU 
‘ALAYHI WASALLAM tidak mengerjakan ibadah qashirah, melainkan memilih 
ibadah muta’addiyah.
Menyantuni
 anak yatim, yang termasuk ibadah muta’addiyah, misalnya, oleh Nabi 
SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM, penyantunnya dijanjikan surga, malah kelak
 hidup berdampingan dengan beliau. Sementara untuk haji mabrur, Nabi 
SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM hanya menjanjikan surga, tanpa janji 
berdampingan bersama beliau. Ini bukti, ibadah sosial lebih utama 
ketimbang ibadah individual.
| Add caption | 
Di 
Madinah, banyak ”mahasiswa” belajar pada Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI 
WASALLAM. Mereka tinggal di shuffah Masjid Nabawi. Jumlahnya ratusan. 
Mereka yang disebut ahl al-shuffah itu adalah mahasiswa Nabi SHALLALLAHU
 ‘ALAYHI WASALLAM yang tidak memiliki apa-apa kecuali dirinya sendiri, 
seperti Abu Hurairah. Bersama para sahabat, Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI 
WASALLAM menanggung makan mereka. Ibadah muta’addiyah seperti ini yang 
diteladankan beliau, bukan pergi haji berkali-kali atau menggiring 
jamaah umrah tiap bulan. Karenanya, para ulama dari kalangan Tabiin 
seperti Muhammad bin Sirin, Ibrahim al-Nakha’i, dan Malik bin Anas 
berpendapat, beribadah umrah setahun dua kali hukumnya makruh (tidak 
disukai), karena Nabi SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM dan ulama salaf tidak
 pernah melakukannya.
Dalam 
hadis qudsi riwayat Imam Muslim ditegaskan, Allah dapat ditemui di sisi 
orang sakit, orang kelaparan, orang kehausan, dan orang menderita. Nabi 
SHALLALLAHU ‘ALAYHI WASALLAM tidak menyatakan bahwa Allah dapat ditemui 
di sisi Ka’bah. Jadi, Allah berada di sisi orang lemah dan menderita. 
Allah dapat ditemui melalui ibadah sosial, bukan hanya ibadah 
individual. Kaidah fikih menyebutkan, al-muta’addiyah afdhol min 
al-qashirah (ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual).
Jumlah
 jamaah haji Indonesia yang tiap tahun di atas 200.000 sekilas 
menggembirakan. Namun, bila ditelaah lebih jauh, kenyataan itu justru 
memprihatinkan, karena sebagian dari jumlah itu sudah beribadah haji 
berkali-kali. Boleh jadi, kepergian mereka yang berkali-kali itu bukan 
lagi sunah, melainkan makruh, bahkan haram.
Ketika
 banyak anak yatim telantar, puluhan ribu orang menjadi tunawisma akibat
 bencana alam, banyak balita busung lapar, banyak rumah Allah roboh, 
banyak orang terkena pemutusan hubungan kerja, banyak orang makan nasi 
aking, dan banyak rumah yatim dan bangunan pesantren terbengkalai, lalu 
kita pergi haji kedua atau ketiga kalinya, maka kita patut bertanya pada
 diri sendiri, apakah haji kita itu karena melaksanakan perintah Allah?
| Add caption | 
Sayangnya,
 masih banyak orang yang beranggapan, setan hanya menyuruh kita berbuat 
kejahatan atau setan tidak pernah menyuruh beribadah. Mereka tidak tahu 
bahwa sahabat Abu Hurairah pernah disuruh setan untuk membaca ayat kursi
 setiap malam. Ibadah yang dimotivasi rayuan setan bukan lagi ibadah, 
melainkan maksiat.
Jam 
terbang iblis dalam menggoda manusia sudah sangat lama. Ia tahu betul 
apa kesukaan manusia. Iblis tidak akan menyuruh orang yang suka 
beribadah untuk minum khamr. Tapi Iblis menyuruhnya, antara lain, 
beribadah haji berkali-kali. Ketika manusia beribadah haji karena 
mengikuti rayuan iblis melalui bisikan hawa nafsunya, maka saat itu 
tipologi haji pengabdi setan telah melekat padanya. Wa Allah a’lam.[ ]
*Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta
Sumber : DISINI 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar