Buya Hamka: Vonis Sesat terhadap Wahabi Direkayasa untuk Gurita Kolonialisme
Oleh: Zulkarnain Khidir
Mahasiswa Universitas Prof. DR. HAMKA, Jakarta
Mahasiswa Universitas Prof. DR. HAMKA, Jakarta
Belakangan
ketika isu terorisme kian dihujamkan di jantung pergerakan umat Islam
agar iklim pergerakan dakwah terkapar lemah tak berdaya. Nama Wahabi
menjadi salah satu faham yang disorot dan kian menjadi bulan-bulanan
aksi “tunjuk hidung,” bahkan hal itu dilakukan oleh kalangan ustadz dan
kiyai yang berasal dari tubuh umat Islam itu sendiri.
Beberapa
buku propaganda pun diterbitkan untuk menghantam pergerakan yang
dituding Wahabi, di antaranya buku hitam berjudl “Sejarah Berdarah Sekte
Salafi-Wahabi: Mereka Membunuh Semuanya Termasuk Para Ulama.”
Bertubi-tubi, berbagai tudingan dialamatkan oleh alumnus dari
Universitas di Bawah Naungan Kerajaan Ibnu Saud yang berhaluan Wahabi,
yaitu Prof. Dr. Said Siradj, MA. Tak mau kalah, para kiyai dari pelosok
pun ikut-ikutan menghujat siapapun yang dituding Wahabi. Kasus terakhir
adalah statement dari kiyai Muhammad Bukhori Maulana dalam tabligh akbar
FOSWAN di Bekasi baru-baru ini turut pula menyerang Wahabi dengan
tudingan miring. Benarkah tudingan tersebut?
Menarik
memang menyaksikan fenomena tersebut. Gelagat pembunuhan karakter
terhadap dakwah atau personal pengikut Wahabi ini bukan hal baru,
melainkan telah lama terjadi. Hal ini bahkan telah diurai dengan lengkap
oleh ulama pejuang dan mantan ketua MUI yang paling karismatik, yaitu
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang biasa disapa Buya HAMKA. Siapa
tak mengenal Buya HAMKA? Kegigihan, keteguhan dan independensinya
sebagai seorang ulama tidak perlu diragukan lagi tentunya.
Dalam buku
“Dari Perbendaharaan Lama,” Buya HAMKA dengan gamblang beliau merinci
berbagai fitnah terhadap Wahabi di Indonesia sejatinya telah berlangsung
berkali-kali. Sejak Masa Penjajahan hingga beberapa kali Pemilihan Umum
yang diselenggarakan pada era Orde Lama, Wahabi seringkali menjadi
objek perjuangan yang ditikam fitnah dan diupayakan penghapusan atas
eksistensinya. Mari kita cermati apa yang pernah diungkap Buya Hamka
dalam buku tersebut:
“Seketika
terjadi Pemilihan Umum , orang telah menyebut-nyebut kembali yang baru
lalu, untuk alat kampanye, nama “Wahabi.” Ada yang mengatakan bahwa
Masyumi itu adalah Wahabi, sebab itu jangan pilih orang Masyumi. Pihak
komunis pernah turut-turut pula menyebut-nyebut Wahabi dan mengatakan
bahwa Wahabi itu dahulu telah datang ke Sumatera. Dan orang-orang
Sumatera yang memperjuangkan Islam di tanah Jawa ini adalah dari
keturunan kaum Wahabi.
Memang
sejak abad kedelapan belas, sejak gerakan Wahabi timbul di pusat tanah
Arab, nama Wahabi itu telah menggegerkan dunia. Kerajaan Turki yang
sedang berkuasa, takut kepada Wahabi. Karena Wahabi adalah, permulaan
kebangkitan bangsa Arab, sesudah jatuh pamornya, karena serangan bangsa
Mongol dan Tartar ke Baghdad.
Dan Wahabi pun ditakuti oleh bangsa-bangsa penjajah,
karena apabila dia masuk ke suatu negeri, dia akan
mengembangkan mata penduduknya menentang penjajahan.
Sebab faham Wahabi ialah meneguhkan kembali
ajaran Tauhid yang murni,
menghapuskan segala sesuatu yang akan membawa kepada syirik.
Sebab itu timbullah perasaan
tidak ada tempat takut melainkan Allah.
Wahabi adalah menentang keras kepada Jumud,
yaitu memahamkan agama dengan membeku.
Orang harus kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Ajaran
ini telah timbul bersamaan dengan timbulnya kebangkitan revolusi
Prancis di Eropa. Dan pada masa itu juga “infiltrasi” dari gerakan ini
telah masuk ke tanah Jawa. Pada tahun 1788 di zaman pemerintahan Paku
Buwono IV, yang lebih terkenal dengan gelaran “Sunan Bagus,” beberapa
orang penganut faham Wahabi telah datang ke tanah Jawa dan menyiarkan
ajarannya di negeri ini. Bukan saja mereka itu masuk ke Solo dan Yogya,
tetapi mereka pun meneruskan juga penyiaran fahamnya di Cirebon, Bantam
dan Madura. Mereka mendapat sambutan baik, sebab terang anti penjajahan.
Sunan
Bagus sendiri pun tertarik dengan ajaran kaum Wahabi. Pemerintah Belanda
mendesak agar orang-orang Wahabi itu diserahkan kepadanya. Pemerintah
Belanda cukup tahu, apakah akibatnya bagi penjajahannya, jika faham
Wahabi ini dikenal oleh rakyat.
Padahal
ketika itu perjuangan memperkokoh penjajahan belum lagi selesai.
Mulanya Sunan tidak mau menyerahkan mereka. Tetapi mengingat
akibat-akibatnya bagi Kerajaan-kerajaan Jawa, maka ahli-ahli kerajaan
memberi advis kepada Sunan, supaya orang-orang Wahabi itu diserahkan
saja kepada Belanda. Lantaran desakan itu, maka mereka pun ditangkapi
dan diserahkan kepada Belanda. Oleh Belanda orang-orang itu pun diusir
kembali ke tanah Arab.
Tetapi
di tahun 1801, artinya 12 tahun di belakang, kaum Wahabi datang lagi.
Sekarang bukan lagi orang Arab, melainkan anak Indonesia sendiri, yaitu
anak Minangkabau. Haji Miskin Pandai Sikat (Agam) Haji Abdurrahman
Piabang (Lubuk Limapuluh Koto), dan Haji Mohammad Haris Tuanku Lintau
(Luhak Tanah Datar).
Mereka
menyiarkan ajaran itu di Luhak Agam (Bukittinggi) dan banyak beroleh
murid dan pengikut. Diantara murid mereka ialah Tuanku Nan Renceh
Kamang. Tuanku Samik Empat Angkat. Akhirnya gerakan mereka itu meluas
dan melebar, sehingga terbentuklah “Kaum Paderi” yang terkenal. Di
antara mereka ialah Tuanku Imam Bonjol. Maka terjadilah “Perang Paderi”
yang terkenal itu. Tiga puluh tujuh tahun lamanya mereka melawan
penjajahan Belanda.
Bilamana
di dalam abad ke delapan belas dan Sembilan belas gerakan Wahabi dapat
dipatahkan, pertama orang-orang Wahabi dapat diusir dari Jawa, kedua
dapat dikalahkan dengan kekuatan senjata, namun di awal abad kedua puluh
mereka muncul lagi!
Di
Minangkabau timbullah gerakan yang dinamai “Kaum Muda.” Di Jawa
datanglah K.H. A. Dahlan dan Syekh Ahmad Soorkati. K.H.A. Dahlan
mendirikan “Muhammadiyah.” Syekh Ahmad Soorkati dapat membangun semangat
baru dalam kalangan orang-orang Arab. Ketika dia mulai datang, orang
Arab belum pecah menjadi dua, yaitu Arrabithah Alawiyah dan Al-Irsyad.
Bahkan yang mendatangkan Syekh itu ke mari adalah dari kalangan yang
kemudiannya membentuk Ar-Rabithah Adawiyah.
Musuhnya
dalam kalangan Islam sendiri, pertama ialah Kerajaan Turki. Kedua
Kerajaan Syarif di Mekkah, ketiga Kerajaan Mesir. Ulama-ulama pengambil
muka mengarang buku-buku buat “mengkafirkan” Wahabi. Bahkan ada di
kalangan Ulama itu yang sampai hati mengarang buku mengatakan bahwa
Muhammad bin Abdul Wahab pendiri faham ini adalah keturunan Musailamah
Al Kahzab!
Pembangunan
Wahabi pada umumnya adalah bermazhab Hambali, tetapi faham itu juga
dianut oleh pengikut Mazhab Syafi’i, sebagai kaum Wahabi Minangkabau.
Dan juga penganut Mazhab Hanafi, sebagai kaum Wahabi di India.
Sekarang
“Wahabi” dijadikan alat kembali oleh beberapa golongan tertentu untuk
menekan semangat kesadaran Islam yang bukan surut ke belakang di
Indonesia ini, melainkan kian maju dan tersiar. Kebanyakan orang Islam
yang tidak tahu di waktu ini, yang dibenci bukan lagi pelajaran wahabi,
melainkan nama Wahabi.
Ir.
Dr. Sukarno dalam “Surat-Surat dari Endeh”nya kelihatan bahwa fahamnya
dalam agama Islam adalah banyak mengandung anasir Wahabi.
Kaum
komunis Indonesia telah mencoba menimbulkan sentiment Ummat Islam dengan
membangkit-bangkit nama Wahabi. Padahal seketika terdengar kemenangan
gilang-gemilang yang dicapai oleh Raja Wahabi Ibnu Saud, yang mengusir
kekuasaan keluarga Syarif dari Mekkah. Umat Islam mengadakan Kongres
Besar di Surabaya dan mengetok kawat mengucapkan selamat atas kemenangan
itu (1925). Sampai mengutus dua orang pemimpin Islam dari Jawa ke
Mekkah, yaitu H.O.S. Cokroaminoto dan K.H. Mas Mansur. Dan Haji Agus
Salim datang lagi ke Mekkah tahun 1927.
Karena
tahun 1925 dan tahun 1926 itu belum lama, baru lima puluh tahun lebih
saja, maka masih banyak orang yang dapat mengenangkan bagaimana pula
hebatnya reaksi pada waktu itu, baik dari pemerintah penjajahan, walau
dari Umat Islam sendiri yang ikut benci kepada Wahabi, karena hebatnya
propaganda Kerajaan Turki dan Ulama-ulama pengikut Syarif.
Sekarang
pemilihan umum yang pertama sudah selesai. Mungkin menyebut-nyebut
“Wahabi” dan membusuk-busukkannya ini akan disimpan dahulu untuk
pemilihan umum yang akan datang. Dan mungkin juga propaganda ini masuk
ke dalam hati orang, sehingga gambar-gambar “Figur Nasional,” sebagai
Tuanku Imam Bonjol dan K.H.A. Dahlan diturunkan dari dinding. Dan
mungkin perkumpulan-perkumpulan yang memang nyata kemasukan faham Wahabi
seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis dan lain-lain diminta supaya
dibubarkan saja.
Kepada
orang-orang yang membangkit-bangkit bahwa pemuka-pemuka Islam dari
sumatera yang datang memperjuangkan Islam di Tanah Jawa ini adalah
penganut atau keturunan kaum Wahabi, kepada mereka orang-orang dari
Sumatera itu mengucapkan banyak-banyak terima kasih! Sebab kepada mereka
diberikan kehormatan yang begitu besar!
Sungguh
pun demikian, faham Wahabi bukanlah faham yang dipaksakan oleh
Muslimin, baik mereka Wahabi atau tidak. Dan masih banyak yang tidak
menganut faham ini dalam kalangan Masyumi. Tetapi pokok perjuangan
Islam, yaitu hanya takut semata-mata kepada Allah dan anti kepada segala
macam penjajahan, termasuk Komunis, adalah anutan dari mereka bersama!”
Dari
paparan tersebut, jelaslah bahwa Buya HAMKA berhasil menelisik akar
terjadinya fitnah yang dialamatkan kepada Wahabi. Ini menandakan vonis
“Faham Hitam” yang dituduhkan kepada Wahabi pada dasarnya adalah modus
lama namun didesain dengan gaya baru yang disesuaikan dengan kepentingan
dan arahan yang disetting oleh para Think Tank “Gurita Kolonialisme Abad 21.”
Maka perhatikanlah apa yang pernah diutarakan oleh Buya HAMKA dalam pembahasan Islam dan Majapahit berikut ini:
“Memang,
di zaman Jahiliyah kita bermusuhan, kita berdendam, kita tidak bersatu!
Islam kemudiannya adalah sebagai penanam pertama dari jiwa persatuan.
Dan Kompeni Belanda kembali memakai alat perpecahannya, untuk menguatkan
kekuasaannya.”
“Tahukah
tuan, bahwasanya tatkala Pangeran Dipenogero, Amirul Mukminin Tanah
Jawa telah dapat ditipu dan perangnya dikalahkan, maka Belanda membawa
Pangeran Sentot Ali Basyah ke Minangkabau buat mengalahkan Paderi?
Tahukah tuan bahwa setelah Sentot merasa dirinya tertipu, sebab yang
diperanginya itu adalah kawan sefahamnya dalam Islam, dan setelah kaum
Paderi dan raja-raja Minangkabau memperhatikan ikatan serbannya sama
dengan ikatan serban Ulama Minangkabau, sudi menerima Sentot sebagai
“Amir” Islam di Minangkabau? Teringatkah tuan, bahwa lantaran rahasia
bocor dan Belanda tahu, Sentot pun diasingkan ke Bengkulu dan di sana
beliau berkubur buat selama-lamanya?”
“Maka
dengan memakai faham Islam, dengan sendirinya kebangsaan dan kesatuan
Indonesia terjamin. Tetapi dengan mengemukakan kebangsaan saja, tanpa
Islam, orang harus kembali mengeruk, mengorek tambo lama, dan itulah
pangkal bala dan bencana!”
Kiranya,
sepeninggal HAMKA, alangkah laiknya jika umat Islam masih kenal dan bisa
mengimplementasikan apa yang diutarakan Buya HAMKA dalam bukunya
tersebut. Dengan demikian, niscaya umat Islam tidak perlu sampai menjadi
keledai yang terjerembab dalam lubang yang dibuat oleh musuh-musuh
Islam dengan modus yang sama tetapi dalam nuansa yang berbeda. Wallahu A’lam. [voa-islam.com]
Sumber: Disini